Selasa, 11 Agustus 2009

Menggagas Spiritualitas Ekofeminisme Berdasarkan Pemikiran Islam

Diskursus mengenai perbedaan status dan kedudukan berdasarkan gender berawal dari dua teori besar yaitu teori nature dan nurture yang menjelaskan bagaimana terbentuknya kodrat dan streotype laki-laki-perempuan dalam masyarakat. Dalam pandangan teori nature dikemukakan bahwa adanya perbedaan laki-laki dan perempuan secara kodrati disebabkan karena faktor genetis biologis. Adapun teori nurture beranggapan bahwa terjadinya perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial budaya.

Teori nature yang pada awalnya lahir didunia barat seiring dengan perkembangan filsafat merupakan konsep teori yang disusun oleh pemikir dizamanya yang menyatakan bahwa perempuan sesungguhnya lebih lemah dari laki-laki. Para pemikir dan filosof seperti Aristoteles mengatakan bahwa "perempuan adalah laki-laki yang tidak lengkap" atau Imanuel Kant yang sangsi terhadap kemampuan perempuan dalam memahami prinsip-prinsip hidup serta Schopenhauer yang memandang perempuan sangat terbelakang dalam segala hal dan tidak memiliki kesanggupan dalam berpikir dan berefleksi merupakan bukti adanya anggapan bahwa perempuan diciptakan berbeda dengan laki-laki.

Dalam pandangan penganut teori fungsionalis yang merupakan pendukung teori nurture, kedudukan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat merupakan sesuatu yang diperlukan dan terberi secara wajar. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar teori fungsional yang menganggap bahwa perempuan dan laki-laki adalah bagian dari kesatuan sistim sosial. Untuk itu laki-laki dan perempuan harus dapat memposisikan diri secara tepat dalam rangka menciptakan keseimbangan. Sebaliknya penganut konflik beranggapan bahwa sesungguhnya perbedaan fungsi dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat merupakan hasil rekayasa sosial yang diciptakan untuk dapat memberi keuntungan bagi kelompok penguasa. Pendukung teori ini mendefenisikan kedudukan laki-laki dalam masyarakat diidentikan sebagai pemilik modal dari kelompok berjuasi.

Teori nurture dalam kajian kontemporer merupakan ideologi dominan yang mempengaruhi lahirnya feminis mainstream. Feminis mainstream yang digagas berdasarkan aliran berpikir modernis adalah bentuk gerakan perjuangan kelompok feminis yang ingin menghilangkan adanya perbedaan dan ketidaksetaraan yang terjadi terhadap perempuan. Feminisme liberal dengan dasar gerakannya pada pembebasan dan persamaan hak bagi perempuan, feminisme radikal dengan inti perjuangan menghilangkan ketergantuangan seksual perempuan pada laki-laki, feminisme sosialis- marxis yang menandai perjuangannya melalui penghancuran ideologi patriarki dan juga menghilangkan perbedaan kelas melalui gerakan revolusi dan pilihan yang lebih lunak pada kelompok theologi feminis yang berasal dari lintas agama yang intens melakukan reinterpretasi mengenai kedudukan perempuan dalam teks-teks kitab suci sehingga tidak bias gender.

Secara umum, formasi feminis mainstream memiliki persamaan mengenai asumsi dasar terjadinya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Asumsi ini mengarah pada adanya sistem budaya patriarki yang sudah melembaga dan berpengaruh negatif terhadap status dan kedudukan perempuan terutama dalam membentuk ideologi patriarki yang menjadikan perempuan tersubordinasi dan termarginalisasi.

PENDEKATAN DALAM GERAKAN FEMINISME.

Untuk meruntuhkan sistem budaya patriarki dan mencapai kesetaraan berdasarkan gender, formasi gerakan feminisme yang dicirikan semangat radikalisme diformulasikan kedalam dua bentuk pendekatan yang berbeda yakni dengan tetap mempertahankan femininitas atau sebaliknya merubah femininitas menjadi maskulinitas. Orientasi utama dari feminis modern dan teologi feminis adalah terjadinya perubahan eksernal perempuan. Perempuan selama ini telah terjebak dalam lingkungan sosialnya yang membentuk dirinya tidak bisa mandiri. Dekonstruksi theologi feminis dan upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama merupakan indikasi untuk mencapai tujuan tersebut.

Pendekatan pertama menekankan terciptanya persamaan dan kesetaraan bagi perempuan melalui penonjolan kualitas feminin yang menjadi sifat khas perempuan sehingga terbentuk budaya matriarkat. Adapun pendekatan yang kedua mengubah dunia perempuan menjadi dunia laki-laki sehingga status dan kedudukannya menjadi lebih setara. Terdapat dua formasi gerakan feminis (Megawangi dalam membiarkan berbeda,1999) yaitu ; pertama proses transformasi sosial melalui perubahan yang evolusioner. Gerakan ini meyakini bahwa untuk meruntuhkan sistem patriarki yang hirarkis dan dominatif dapat dilakukan dengan perubahan internal yang menonjolkan kualitas feminim. Kedua transformasi sosial dengan perubahan eksternal yang revolusioner. Gerakan ini didasari pandangan bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan dimungkinkan terjadi melalui pengadopsian kualitas maskulin oleh perempuan.

Kelompok feminis posmodernis yang menggunakan pendekatan pertama sebagai ciri gerakannya justeru dianggap akan menciptakan romantisasi femininitas melalui penonjolan kualitas feminim yang justeru akan melanggengkan sistim patriarki karena romantisasi femininitas akan memperkuat posisi perempuan dalam sektor domestik. Sebaliknya pada pendekatan kedua ciri gerakan yang terbangun pada feminis modernis dianggap akan menciptakan terjadinya male clone dimana perempuan akan cenderung menjadi tiruan laki-laki karena perubahan streotipe feminim ke dunia maskulin bagi perempuan justeru melanggengkan budaya paternalistik dalam hubungan sosial.

EKOFEMINISME SEBAGAI FORMULASI BARU

Ideologi feminisme modern yang memandang bahwa perempuan adalah merupakan makhluk yang by self dengan segala potensi diri yang harus diaktualisasikan sehingga memunculkan keinginan untuk mengadopsi kualitas maskulin dengan menafikan nilai femininitas justeru menjebak perempuan masuk kedalam perangkap sistem patriarkat. Keadaan ini merubah pandangan sebagian kaum feminis modern menjadi lebih realistis. Keyakinan mereka bahwa untuk membangun tatanan masyarakat baru yang setara dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan kualitas feminim serta tetap mempertahankan peranan perempuan sebagai ibu.

Teori-teori feminis modern hampir tidak pernah menyentuh masalah-masalah kesejahteraan anak dan kelestarian lingkungan. Indikasi ini terlihat pada peradaban manusia modern (baik laki-laki dan perempuan) yang cenderung ingin menguasai, mendominasi, dan mengeksploitasi sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan, menaikan tingkat kriminalitas, dan menurunkan solidaritas sosial.

Gerakan ini kemudian mendasari lahirnya ekofeminisme. Konsep ekofeminisme sangat bertolak belakang dengan teori-teori feminis modern yang memandang individu sebagai makhluk otonom. Konsep ini sekaligus menjadi antitesa terhadap feminisme modern. Dalam Ekofeminisme teori-teori yang dikembangkan berangkat dari asumsi bahwa individu adalah makhluk yang komprehensif yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Berbeda dari teologi feminis yang memfokuskan perhatiannya pada aspek eksternal, materi dan legalistik agama, maka dalam ekofeminisme persinggungan antara ekofeminisme dan agama terletak pada aspek spritual, internal dan substantif. Proses transformasi internal dalam ekofeminisme bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran adanya saling keterkaitan antara manusia dan alam semesta. Pendekatan internal melihat bahwa terdapat inti kesamaan dari segala yang termanifestasi dalam kehidupan masyarakat walaupun wujudnya berbeda-beda. Adapun pendekatan eksternal menitiberatkan pada masalah perbedaan dari segala yang termanifestasi.

Dalam pandangan spritualitas ekofeminis perbedaan antara unsur-unsur dalam kesatuan alam disebabkan karena manusia cenderung melakukan pemujaan "Tuhan Maskulin" dengan tidak pada "Tuhan Feminin". Akibatnya manusia terlanjur menginternalisasi sifat dari "Tuhan Maskulin" sebagai yang kuasa, aktif, terpisah, idenpenden, jauh, dan dominan. Pandangan ini mengakibatkan manusia cenderung menganggap bahwa manusia diluar dirinya memiliki ego-ego yang terpisah. Pada akhirnya manusia dan alam menjadi begitu terisolasi dengan membentuk perbedaan sebagai subjek dan objek sehingga terjadi penguasaan dan eksploitasi baik oleh manusia terhadap manusia lainnya maupun oleh manusia terhadap lingkungan.

Selanjutnya ekofeminisme membentuk imajinasi bahwa "Tuhan Feminis" perlu didekonstruksi secara idea yang akan membuat manusia mengeinternalisasikan sifat-sifat feminin dengan sifat pengasih, penyayang, pemelihara, bersatu, penerima, berserah diri, dan segala kualitas feminin lainnya. Kualitas feminin akan membentuk kesadaran tentang unsur-unsur kedirian manusia, antar manusia, bumi, langit dan seluruh kesatuan kosmos yang pada esensinya adalah satu yaitu "Tuhan Feminin".

Dalam spritualitas ekofominisme, penolakan terhadap simbolilsasi "Tuhan Maskulin" sesungguhnya adalah perwujudan sikap anti budaya patriarki. Budaya patriarki ( maskulinitas ) yang terbentuk selama ini telah merusak dan menutupi nilai sakral kualitas feminim yang merupakan fitrah dasar perempuan. Spritualitas ekofeminisme ingin mengembalikan identifikasi perempuan dengan alam melaui proses transformasi spritual manusia untuk membentuk masyarakat yang lebih baik. Pada tataran sosial, ekofeminisme secara berlebihan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada kualitas feminim dengan mengkritik kualitas maskulin yang dianggap hirarkis dan dominatif.

SPIRIT PEMIKIRAN ISLAM BAGI EKOFEMINISME.

Sejalan dengan perkembangan teologi pembebasan. Kajian teologi feminisme manjadi wacana baru yang muncul kemudian dengan mengintegrasikan agama dalam ideologi feminis. Dalam teologi feminis pendekatan utama adalah pada penghapusan streotipe berdasarkan gender. Perempuan dalam pandangan teologi feminis secara relatif diharapkan dapat menyamai laki-laki. Pada prinsipnya konsep dasar teologi feminis sesungguhnya sama dengan feminis modern perbedannya terletak pada ciri utama dari teologi feminis yang melakukan dekonstruksi idiologi nilai-nilai agama yang bias laki-laki sebagai jalan untuk mencapai tujuannya.

Pengembangan telogi feminis dalam Islam juga menemukan momentumnya melaui reinterpretasi konsep-konsep Islam secara eksternal. Reintepretasi konsep-konsep Islam sesuai dengan paradigma teologi feminis dilakukan berdasarakan tujuannya dimana makna tafsir dapat saja berbeda dari apa yang tertulis. Makna tafsir yang berbeda nota bene akan menghasilkan pandangan yang beragam dalam rangka melakukan dekonstruksi relasi gender dalam sistem sosial.

Dalam pandangan teologi feminis Islam dekonstruksi nilai-nilai agama sesungguhnya juga diarahkan pada penghapusan budaya patriarki. Harus diakui bahwa dalam Islam budaya patriarki memang memberikan nuansa yang cukup kental dalam pola relasi gender. Banyak ayat-ayat Al Quran dan nash-nash Hadist yang secara implisit menunjukan hal tersebut. Pendekatan dalam mendekonstruksi nilai-nilai agama berdasarkan pemikiran Islam oleh teologi feminis Islam dominan mengacu pada pendekatan syariah atau hukum. Hal ini sesuai dengan paradigma teologi feminis yang selalu memfokuskan perhatiannya pada aspek eksternal.

Dalam kajian Islam kontekstual terdapat konsep pemikiran baru mengenai feminis mainstream yang agak berbeda dari teologi feminis. Konsep ini menekankan pada hakikat dan ma'rifat sebagai bentuk pendekatan dalam pengembangan gagasannya. Konsep ini relatif serupa dengan konsep ekofeminisme dimana proses internalisasi sifat Tuhan dalam kedirian manusia terlalu cenderung pada "Tuhan yang Agung" atau "Jalal" yang mengacu pada terminologi kualitas maskulin. Adapun sifat Tuhan yang cenderung pada "Tuhan yang Indah" atau "Jamal" yang mengacu pada kualitas feminin kurang terinternalisasi dalam diri manusia. Hal ini menyebabkan keterpisahan antara manusia sebagai satu kesatuan maksrokosmos.

Penciptaan polarisasi sifat ke-Tuhanan pada konsep ini sesungguhnya berangkat dari pandangan bahwa inti segala sesuatu adalah satu meskipun berbeda adanya. Dalam ekofeminisme pandangan yang sama juga ada dimana penciptaan kualitas feminin sebagai inti segala sesuatu menjadi tujuan utama. Konsep ini juga melihat bahwa patriarki sebagai suatu yang positif dimana Tuhan melaui nama-namaNya adalah perwujudan keseimbangan antara patriarki yaitu Agung dan Kuasa, dan matriarki yaitu dekat, pengasih, penyayang, dan penerima (Murata dalam The Tao of Islam,1992).

Untuk menjelaskan segala sesuatu, dalam Islam terdapat istilah hitam-putih yang bermakna saling berlawan. Nama-nama Tuhan seperti Jamal-Jalal, atau Lutf-Qahr, atau Rahma-Ghadab, termasuk ciptaanya seperti langit-bumi, atas-bawah, raja-abdi, cahaya-gelap, nyata-gaib dan feminin-maskulin termasuk patriarki-matriarki (Megawangi, 1999). Dualitas ini esensinya menunjuk pada hal yang baik dalam tataran ilahiah, tataran kosmos, maupun tataran manusia yang seluruhnya mempunyai analogi dan maksud-maksud tersendiri.

Yang menarik dari konsep ini adalah bahwa patriarki dan matriarki pada tataran manusia masing-masing memiliki sisi positif dan negatif dimana keduanya untuk saling melengkapi. Tujuan Penciptaan adalah merupakan penegasan Tuhan yang satu melalui keseimbangan Jalal (maskulinitas) dan Jamal (femininitas) baik secara internal maupun eksternal dimana esensi tujuan hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah menjadi insan kamil (Murata, 1992).

Sebagian besar manusia mempunyai sifat patriarki negatif dan matriarki negatif. Patriarki negatif adalah jiwa yang ingin berkuasa, mendominasi, meninggikan diri, dan mempertuhankan diri. Sedangkan matriarki negatif adalah jiwa yang menyerahkan dirinya atau bersikap pasif pada segala sesuatu yang rendah (materi, keduniaan, kegelapan dan segala sifat yang buruk). Kedua sifat ini dimiliki oleh setiap manusia baik laki-laki dan perempuan (Murata, 1992). Untuk itu proses transformasi internal melalui pembersihan batin dalam rangka menumbuhkan sifat matriarki dan patriarki positif akan membentuk manusia yang berkualitas. Ketika transformasi internal ini terjadi pada kedirian manusia sebagai insan sang khalik maka akan tercipta dunia yang damai dan adil tanpa kekerasan dan penindasan.

( Sumber : www.radarsulteng.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar